Sejarah perkembangan hukum internasional dapat dibagi menjadi empat periode yaitu:
1. Periode memperjuangkan hak hidup negara-negara kebangsaan.
Hal ini ditandai dengan adanya perjanjian Westphalia 1648. Perjanjian Damai Westphalia terdiri dari dua perjanjian yang
ditandatangani di dua kota di wilayah Westphalia, yaitu di Osnabrück (15
Mei 1648) dan di Münster (24 Oktober 1648). Kedua perjanjian ini
mengakhiri Perang 30 Tahun (1618-1648) yang berlangsung di Kekaisaran
Suci Romawi dan Perang 80 Tahun (1568-1648) antara Spanyol dan Belanda.
Perdamaian Westphalia dianggap sebagai peristiwa penting dalam
sejarah Hukum Internasional modern, bahkan dianggap sebagai suatu
peristiwa Hukum Internasional modern yang didasarkan atas negara-negara
nasional. Sebabnya adalah :
- 1. Selain mengakhiri perang 30 tahun, Perjanjian Westphalia telah meneguhkan perubahan dalam peta bumi politik yang telah terjadi karena perang itu di Eropa .
- 2. Perjanjian perdamaian mengakhiri untuk selama-lamanya usaha Kaisar Romawi yang suci.
- 3. Hubungan antara negara-negara dilepaskan dari persoalan hubungan kegerejaan dan didasarkan atas kepentingan nasional negara itu masing-masing.
- 4. Kemerdekaan negara Belanda, Swiss dan negara-negara kecil di Jerman diakui dalam Perjanjian Westphalia.
Perjanjian Westphalia meletakkan dasar bagi susunan masyarakat
Internasional yang baru, baik mengenai bentuknya yaitu didasarkan atas
negara-negara nasional (tidak lagi didasarkan atas kerajaan-kerajaan)
maupun mengenai hakekat negara itu dan pemerintahannya yakni pemisahan
kekuasaan negara dan pemerintahan dari pengaruh gereja.
Dasar-dasar yang diletakkan dalam Perjanjian Westphalia diperteguh
dalam Perjanjian Utrech yang penting artinya dilihat dari sudut politik
Internasional, karena menerima asas keseimbangan kekuatan sebagai asas
politik internasional.
2. Periode konsolidasi masyarakat internasional.
Periode ini ditandai adanya Konferensi Perdamaian di Den Haag - Belanda pada tahun 1899 dan 1907.
3. Perode emansipasi politik negara-negara terjajah ke dalam masyarakat internasional sebagai negara merdeka. Kenyataan ini diwujudkan melalui organisasi internasional yang bersifat multilateral yaitu Liga Bangsa-Bangsa dan selanjutnya Perserikatan Bangsa-Bangsa.
4. Periode Hukum Internasional yang ditandai oleh efektivitas sanksi-sanksi hukum internasional sekira tahun 1990 sampai sekarang.
Sebelum munculya negara-negara kebangsaan, sudah banyak ahli yang mempelajari hukum internasional. Pada umumnya dalam memaparkan perkembangan sejarah hukum
internasional pada periode abad pertengahan, mereka hanya mengungkap
tokoh-tokoh dari Eropa Barat, setelah perkembangan di negara-negara
Yunani, Kekaisaran Romawi, dan Yahudi, langsung saja pada tokoh-tokoh
yang dianggap pelopor hukum internasional di negara-negara Barat,
seperti Santo Thomas Aquinas (1226-1274), De Vitoria (1486-1516) dan
Suarez (1548-1617). Tokoh-tokoh yang mengembangkan hukum internasional antara lain:
1. Francisco de Vitoria (1486-1546)
Francisco de Vittoria (dok: pensamientocatolico.wordpress.com) |
2. Francisco Suarez (1548-1617)
Ius gentium dalam pengertian hukum romawi sebagai hukum yang meliputi peraturan-peraturan untuk bermacam- macam bangsa. Oleh karena itu ius gentium hanya dapat diubah dan dihapus oleh persesuaian kehendak dan masyarakat bangsa-bangsa secara keseluruhan. Dasar mengikat ius gentium adalah pacta sunt servanda. Dalam pandangan Suarez yang dimaksud hukum internasional adalah ius gentium.
3. Alberico Gentili (1552-1608)
Alberico Gentili (dok: en.wikipedia.org) |
- persoalan perang adil
- persoalan hukum perjanjian
- persoalan netralitas
- persoalan hukum laut
- persoalan perwakilan diplomatik
- persoalan kewasitan
4. Hugo De Groot (1583-1645)
Grotius (dok: oregonstate.edu) |
Hugo De Groot yang terkenal dengan nama Grotius adalah seorang Calvinis. Bukunya yang terkenal adalah De Jure Belli Act Pacts (Hukum Perang dan Damai). Ia berpandangan bahwa sistem hukum internasional didasarkan pada hukum alam yang terlepas dari agama dan gereja. Ia memberi tempat yang penting terhadap negara-negara nasional dan hukum internasional. Grotius disebut Bapak Hukum Internasional.
Apa yang dikemukankan oleh tokoh-tokoh tersebut akan dilanjutkan oleh tokoh selanjutnya seperti Zouche, Pfuffendorf, Christian Wolf, Von Martens, dan Emerich Vattel.
Pada saat itu kerajaan-kerajaan dan ilmuwan Muslim
pun ikut andil dalam membangun hukum internasional hingga pernah
mencapai puncak kejayaan pada abad ketujuh sampai dengan abad ketiga
belas sementara Eropa masih ada dalam kegelapan dan keterbelakangan.
Pada abad ketujuh dan kedelapan Masehi, kebangkitan Islam melanda dunia. Pada masa kejayaan negara Abasyiyah, Muawiyah, dan Usmaniah yang diperintah oleh umat Islam telah berhasil meluaskan kekuasaannya sampai ke Sisilia, Italia Selatan, Prancis dan Spanyol dan beberapa daratan Eropa lainnya.
Sesungguhnya, di negara-negara Islam tempo dulu banyak sarjana politik Islam yang telah menghasilkan karya-karya besar, seperti:
1) Al Farabi dari Transoxania (sekarang, Turkemania), yang hidup pads
260-339 H atau 870-950 M, seorang filsuf dan politikus terkenal dengan
teorinya “Madinatu’l Fadilah” yang diterjemahkan menjadi Negara Utama
(Model State).
2) Ibnu Sina (dalam tulisan Barat dikenal Avicenna) dan Belch
(sekarang Afganistan), hidup pads 370-428 H atau sama dengan 980-1037 M,
seorang dokter politikus, terkenal dengan teorinya “Siyasatu `rrajul”
yang diterjemahkan menjadi Negara Sosialis (Socialistic State).
3) Imam Al Gazali dari Thus, Persia (sekarang, Iran), yang hidup pada
450-505 H atau 1058-1111, seorang sufi-politikus. la terkenal dengan
teorinya “Siyasat ul Akhlaq” yang terkenal dinamakan Negara Akhlak
(Ethical State).
4) Ibnu Rusjd (dalam tulisan barat dikenal Averroes) dari Cordova,
Andalusia (sekarang, Spanyol), yang hidup pada 520-595 H atau sama
dengan 1126-1198 M, seorang hakim-politikus, terkenal dengan teorinya
“Al Jumhuriyah wa’I Ahkam“, yang secara populer dinamakan pula “Negara
Demokrasi” (Democtratic State).
5) Ibnu Kaldun dari Tunis (sekarang, Tunisia), yang hidup pada 732-808 H
atau sama dengan 1332-1406 M, seorang sosiolog¬politikus yang terkenal
dengan teorinya “Al Ashabiyah wa’1¬Igtidad ” yang lebih populer dengan
“Negara Persemakmuran” (Welfare State).
Teori yang paling terkenal yang ada kaitannya dengan topik bahasan atau
studi hukum internasional dari kelima teori tersebut adalah “Madinatu’1
Fadilah” yang ditulis oleh Al Farabi. Dalam buku tersebut Al Farabi
membagi tingkat-tingkat masyarakat manusia yang berbentuk negara atas
tiga tingkatan sbb.:
a. Kamilah Sugra (Masyarakat Kecil atau Negara Nasional)
b. Kamilah Wusta (Masyarakat Tengah atau Persekutuan Regional)
c. Kamilah Uzma (Masyarakat Besar atau Negara Internasional)
Namun Al-Farabi tidak secara rinci menjelaskan konsepsi dari tiga
tingkatan bentuk negara. la hanya menyebut satu istilah untuk mayarakat
kota yang sempuma dan diakui sudah berhak menj adi negara yang disebut
“Madinah Kamilah”.
Sumber referensi:
Panitia Sertifikasi Guru Rayon XII UNNES. 2011.
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_internasional
http://massofa.wordpress.com/2012/02/06/sejarah-hukum-internasional/ (4 Maret 2013)
Ditulis Oleh: Rochimudin ~ Untuk Pendidikan Indonesia
Artikel Sejarah Perkembangan Hukum Internasional
Semoga bermanfaat.
Terimakasih atas kunjungan dan kesediaan Anda membaca artikel ini.
Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar baik FB comment maupun comment di blog. Sebaiknya berikan comment selain di FB comment agar cepat teridentifikasi.
Saya kurang setuju dengan pengembangan hukum Internasional dari Alberico Gentili, karena sistematika hukumnya tidak bisa memberikan kejelasan hukum bagi negara2 yang masih bersengketa. (Dessy Estiningrum)
BalasHapusSaya setuju dengan pendapat J. Starke yang menyatakan bvahwa hukum internasional adalah keseluruhan hukum yang sebagian besar terdiri prinsip prinsip dan kaidah dari negara negara yang merasa terikat oleh aturan tersebut, dan peraturan tersebut mengharuskan negara negara terkait itu untuk mentaati peraturan yang telah ditetapkan, dengan adanya hukum internasional maka suartu negara memiliki prinsip untuk membangun negaranya, jadi alangkah lebih baiknya hukum internasional berlau untuk seluruh negara dan tidak hanya negara negara yang merasa terikat aturan tersebut. (Thalia Gustita Hayuti XI IPA 3/ 33)
BalasHapusternyata banyak juga sarjana sarjana dan ilmuan islam yang ikut membangun hukum dan politik internasional bahkan hingga mencapai masa kejayaan, sbelumnya saya fikir hanya budaya barat yg mempengaruhi.
BalasHapus-Novia-